Minggu, 02 Oktober 2011

Perbedaan konsep tata bahasa tradisional dan struktural


Konsep Tata Bahasa Tradisional
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic.

Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan. Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen.
.
Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.
Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.

Konsep Tata Bahasa Struktural

Sejak akhir pertengahan pertama abad ke-20, studi bahasa berkembang pesat. Bermacam-macam model analisis bahasa diketengahkan oleh para ahlinya. Yang pertama ilmu bahasa struktural sesudah Bloomfield memiliki ciri penanda antara lain landasan filsafatnya berdasarkan filsafat Behaviorisme dengan pendekatan psikologis. Pandangan kebahasaanya bersistem sentral dan peripheral. Pandangan tentang ilmu bahasa, bahwa ilmu bahasa sebagai ilmu yang bertugas menyediakan prosedur segmentasi dan klarifikasi untuk menggarap data bahasa yang berupa korpus. Sedangkan analisis bahasanya secara konsekuen menerapkan pandangan kebahasaan dan ilmu bahasaan yang dianutnya. Tata bahasanya bersifat deskriptif struktural.
Dari pengembangannya sendiri ibs sb memiliki banyak tokoh yang ikut andil didalamnya, antara lain Z. S. Harris dengan String Analisis : menghilangkan kelemahan-kelemahan analisis taksonomis. Adapun Hockett dengan Constructional Grammar : teori ini sebagai pengganti kedua teori yang masih lama. S. M. Lumb dengan Teori Stratifikasi : struktur bahasa adalah struktur yang berstrata lebih dari satu. K.L. Pike memandang bahasa dilihat dari kajian ilmu lain seperti ilmu fisika. Dan M.A.K halliday dengan teori skala dan teori kategori.
Dari Ilmu Bahasa Transformasi sendiri, dikembangkan oleh noam chomsky dengan karekteristik bahasa adalah suatu yang diciptakan oleh kedinamisan organisme (manusia) atau bisa juga dikatakan bahasa adalah kemampuan organisme. Studi sistematis terhadap bahasa yang memperhitungkan aspek kreatif dan distingtif. Sistem kaidah yang menggambarkan “falcute de langage” penutur asli bahasa. Dalam perkembangan ini pun terdapat dua golongan yaitu Extended Theory dan Generatif Semantik.
Perbandingan antara keduanya meliputi kurang berhasilnya dalam menyediakan alat pemerian bahasa yang formal, jelas, lengkap, dan sederhana. Tidak memperhitungkan kaidah-kaidah transformasi. Konsep penanda frasa IBS SB rupanya kurang tepat . IBS SB terlalu banyak menggunakan pengulangan-pengulangan kaidah yang sebenarnya dapat disederhanakan. IBS SB kurang memperhitungkan latar belakang struktur formal yang berupa pengetahuan tentang relasi-relasi gramatikal dalam diri penutur asli bahasa. IBS SB terlalu tenggelam dengan taksonominya. Korpus sebagai titik berangkat analisis kalimat IBS SB tidak akan mampu memberikan deskripsi struktur bahasa seutuhnya. Komponen semantik dalam tingkatan keilmu bahasaan diabaikan oleh IBS SB.

1 komentar: